Selasa, 19 Januari 2010

bisnis

Terdapat tiga hal utama yang paling diketahui masyarakat tentang Bulog, yaitu pertama bahwa Bulog merupakan tempat yang ‘basah’, oleh karenanya dianggap merupakan lembaga yang banyak terlibat dalam proses melakukan Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN). Kedua, pada suatu masa yang cukup lama Bulog bertindak sebagai ‘calo’ dalam pengolahan tepung terigu yang dilakukan oleh PT. Bogasari, sehingga turut membesarkan kerajaan bisnis konglomerat tertentu pada waktu itu. Ketiga, Bulog tampak sibuk hanya pada saat menjelang panen padi rakyat dengan aktivitas utama mengotak-atik harga gabah. Selebihnya, tentang bagaimana strategi bisnis Bulog, apa sebenarnya yang menjadi wewenang, tanggung jawab dan kewajibannya, bagaimana efisiensi pengelolaannya, bagaimana penggunaan uang negara, bagaimana bangunan jaringan logistik seluruh nusantara terbina, bisakah menjadi profit center negara atau daerah dan sebagainya tidak banyak diketahui masyarakat. Mayoritas studi yang dilakukan lembaga-lembaga pengkajian yang bertebaran di tanah air terutama hanya menyoroti sisi konsep makro ekonominya dan masalah penggunaan finansialnya. Tulisan ini dimaksudkan untuk memperkaya wacana dari sudut pandang yang berbeda, dengan fokus utama mengkaji kemungkinan penataan kembali proses bisnis Bulog yang berorientasi pada efektivitas dan efisiensi sehingga suatu saat dapat berperan sebagai profit center pemerintah maupun menopang ketahanan pangan masyarakat.





Keberadaan Badan atau Lembaga pemerintah selama ini selalu dioreientasikan sebagai non profit organisation. Orientasi ini mengandung ‘amanah’ bahwa pengelolaan lembaga nir laba tersebut ‘tidak menjadi masalah’ jika harus merugi. Secara harfiah penterjemahan nir laba menjadi boleh rugi itu telah terpateri lama dan sulit dihilangkan dari praktek-praktek manajemen yang selama ini dilakukan. Konsekuensinya, karena selalu boleh rugi, maka efektivitas dan efisiensi pengelolaan pun tidak pernah mendapatkan perhatian yang seksama. Lembaga atau badan semacam ini boleh berbangga mencapai misinya at all cost. Bulog pun sebagai lembaga yang fungsi utamanya adalah menopang ketahanan kebutuhan pokok masyarakat tidak pernah diaudit performansinya, dan selalu dianggap sukses, dalam ukuran tunggal yaitu selama persediaan yang dimiliki mencukupi kebutuhan masyarakat. Walaupun untuk mencapai hal tersebut harus memberatkan keuangan negara melalui proses importasi, menekan kehidupan para produsen dalam negeri karena inefisiensi mereka, dan sebagainya. Untuk itu diperlukan paradigma baru pengelolaan Bulog. Sebaiknya, budaya pengelolaan birokratis semacam itu sudah bukan jamannya lagi untuk diterapkan. Sudah saatnya Bulog dikelola dengan semangat enterpreneur. Tentu saja dibutuhkan tolok ukur yang berbeda dengan enterpreneur biasa yang selalu berkonotasi dengan finansial term of profit.



Kebutuhan pengelolaan sistem baru logistik dan kebutuhan desentralisasi ekonomi yang diharapkan segera diterapkan di Indonesia merupakan momentum yang tepat untuk menata ulang sistem bisnis Bulog secara keseluruhan. Pengelolaan Bulog bisa dianalogikan sebagai holding company dari sebuah perusahaan pusat perkulakan, dengan depot-depot logistiknya sebagai factory outlet. Dengan kerangka seperti itu maka terdapat beberapa konsekuensi sebagai berikut :



· Depot-depot logistik bukan lagi merupakan perpanjangan birokrasi bulog semata tetapi merupakan plant-plant yang spesifik sesui dengan potensi daerah masing-masing. Depot logistik ini dimiliki oleh daerah, dikelola oleh daerah yang berperan sebagai penarik hasil produksi dari daerah yang bersangkutan. Orientasi utamanya bukan hanya sebatas mencukupi kebutuhan daerah itu sendiri, tetapi untuk surplus sehingga mampu mengadakan tukar dagang dengan daerah lain, dengan orientasi jangka panjang untuk ekspor nasional. Jika sudah sampai pada tahap ekspor, maka Bulog berperan di dalamnya untuk mencari pasar di luar negeri

· Yang dimonitor bulog adalah lalu lintas informasi kebutuhan, supply, keuangan dari satu depo ke depo daerah lain. Dari lalu lintas rantai supply-pasok tersebut Bulog memiliki data base surplus-minusnya suatu daerah dan berkewajiban untuk menutupnya, jika minus, dari proses impor yang sudah direncanakan dalam jangka panjang.



· Dari lalu lintas perdagangan antar depo tersebut dimungkinkan untuk menerapkan pagu harga yang bersaing, sehingga dimungkinkan persaingan Depot antar daerah seperti dalam mekanisme pasar. Proses ini mirip dengan penjualan Bahan Bakar Minyak manca negara, di mana tiap SPBU dapat menerapkan harga yang berbeda, bahkan di SPBU itu sendiri terjadi perubahan tarif setiap hari, walaupun dalam bilangan cent/ liter. Tentu saja untuk Depot logistik tidak perlu seekstrim itu.



· Kunci dari proses tersebut adalah efisiensi. Termasuk di dalamnya adalah efisinesi pergudangan. Dalam pertimbangan tertentu, tidak perlu depot memiliki gudang-gudang sendiri jika memang dipandang tidak ekonomis. Pengadaan gudang dapat dilakuan oleh pihak lain, atau bahkan diusahakan seminimal mungkin dan tersebar merata di banyak pihak untuk menghindarkan praktek penimbunan. Kuota pengadaan gudang tersebut dibatasi sampai angka tertentu, sebagai fungsi optimasi dari ketersediaan bahan, skala ekonomis, dan resiko penimbunan/ ketergantungan.

Langkah 1: Proses Perencanaan Logistik



Langkah pertama dari perencanaan stratejik logistik adalah penentuan visi logistik. Dalam visi tersebut termasuk pengembangan secara sistematis konsensus organisasi yang berkaitan dengan masukan-masukan kunci bagi proses perencanaan logistik termasuk di dalamnya identifikasi potensi dan alternatif pendekatan logistik. Konsensus pencapaian organisasi sebagai landasan umum pola pikir organisasi. Berikutnya, visioning alternatif potensi logistik dan lingkup pengembangan perencanaan yang menyangkut semua pihak dan membuka potensi horisontal perusahaan. Konsensus dan visioning ini merupakan hal yang kritis karena menyangkut banyak pihak yang memiliki dasar dan perspektif berbeda, di mana perbedaan budaya dan praktek manajemen membutuhkan perbedaan kebutuhan dalam distribusi dan pelayanan pelanggan dan pendukung.



Langkah 2: Analisis Stratejik Logistik



Langkah kedua dalam proses perencanaan logistik adalah melakukan analisis yang dibutuhkan untuk membuat pilihan yang jitu dari sejumlah alternatif logistik potensial. Analisis stratejik seperti yang ditunjukkan dalam piramid di atas menggambarkan kerangka dari analisis stratejik.



Langkah 3: Perencanaan Logistik



Dalam perencanaan logistik, termasuk di dalamnya adalah mengarahkan analisis stratejik menjadi rencana tindakan dan program-program yang membuat perusahaan mencapai visinya. Sebagai contoh, pembuatan sistem informasi manajemen. Setelah anggaran dialokasikan untuk keperluan suatu program, maka jadwal penyelesaian dibuat dan tanggung jawab penyelesaiannya ditugaskan kepada manajer yang tepat.



Kebutuhan peningkatan sistem logistik termasuk di dalamnya meliputi :



1. Peningkatan sistem komunikasi dan teknologi informasi termasuk di dalamnya pengembangan komputer terintegrasi, sistem titik penjualan elektronik, dan perubahan antar data elektronik
2. Perubahan regulasi
3. Peningkatan kebutuhan konsumen khususnya standar pelayanan di mana sistem logistik dipandang sebagai sisi kompetitif sebuah produk
4. Kebutuhan perbaikan kemampuan finansial terutama untuk berjaga-jaga jika menghadapi tekanan ekonomi
5. Pengembangan pelaku baru dengan aturan dan saluran distribusi yang baru
6. Pengurangan persediaan dan ongkos yang berkaitan dengan hal tersebut melalui penentuan depo-depo yang optimal dan mengadopsi konsep Just in Time.



Faktor-faktor yang berpengaruh dalam sistem logistik, meliputi :



Faktor Eksternal :



· Keandalan moda transportasi

· Perubahan dan ketersediaan infrastruktur

· Perubahan regulasi

· Teknologi informasi

· Teknologi pemuatan unit

· Pengaruh lingkungan

· Trend industri



Faktor internal :



· Kelompok produk

· Membuat atau membeli

· Sistem penanganan material yang digunakan

· Profil organisasi

· Kelompok utama pelanggan

· Pelayanan pelanggan

· Sistem informasi

· Aliran produk

· Kebutuhan berdasarkan daerah

· Segmentasi pasar



Aspek-aspek yang berpengaruh :



Aspek pembelian :

· Pemasok mana yang sebaiknay digunakan

· Apa dampak dari penggunaan pemasok alternatif

· Haruskah pemasok dekat dengan produksi



Aspek distribusi :



· Berapa banyak depo, seberapa besar dan di mana harus ditempatkan

· Produk apa yang mesti distock dalam persediaan

· Bagaimana sistem distribusi untuk produk yang berbeda

· Bagaimana area geografis pelayanan dari tiap depot

· Bagaimana ukuran transportasi yang digunakan



Aspek lain :



· Strategi sistem persediaan

· Membuat atau membeli

· Pengembalian kontainer, pengepakan produk





Referensi :


2. Reengineering
Reengineering yang dilakukan State Street:
 Pada tahun 1976, untuk mengatasi krisis keuangan saat itu, State Street melepaskan bisnis perbankan ritel-nya dan menjual bank-bank komunitas yang berafiliasi dengannya. Tindakan ini diikuti dengan perubahan fokus bisnis perusahaan ke arah layanan manajemen aset finansial dengan memanfaatkan teknologi informasi. State Street berkeyakinan bahwa potensi utama yang dimilikinya adalah sebagai penyedia informasi untuk investor-investor institusi.
 Perubahan fokus bisnis di atas belum dapat berjalan baik dengan infrastruktur teknologi informasi yang ada. Oleh karena itu, pada tahun 1988, State Street melakukan kembali reengineering terhadap infrastruktur teknologi informasi. Hingga tahun 1994, sistem-sistem baru yang dihasilkan adalah Multi-Currency HORIZON (MCH) dan Global HORIZON Interchange (GHI). Kedua sistem ini tidak hanya digunakan untuk mengatasi tantangan-tantangan saat itu, melainkan juga mengantisipasi tantangan-tantangan di masa depan. Perubahan drastis terjadi dalam hubungan antara State Street dengan pelanggannya, terutama melalui GHI, dimana pelanggan terkoneksi langsung untuk mengakses informasi-informasi yang disediakan State Street secara real-time.
3. Model Bisnis
Untuk model bisnis ini, akan digunakan Model Five Forces dari Porter untuk menggambarkan hubungan antara State Street dengan organisasi-organisasi eksternal (lihat gambar 2).

Gambar 2. Model Bisnis State Street
Berikut ini akan dijelaskan masing-masing kekuatan (force) dalam model tersebut, beserta tindakan-tindakan yang dilakukan State Street menghadapi peluang dan ancaman yang ada.



Buatlah contoh DFD, Bisnis Proses, dan ERD dibawah ini menggunakan aplikasi Diagram Editor.
1. Data Flow Diagram


2. Bisnis Proses


3. ER Diagram

Diposkan oleh Kos 1 komentar

Label: DFD, RPL

Sabtu, September 13, 2008
Simbol DFD

Berikut ini adalah perbedaan simbol DFD yang digunakan oleh beberapa orang ahli perancangan sistem.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar